Persoalan kota, sekecil apapun tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan kota. Sepintas, laju perkembangan kota terkait dengan persoalan modernisasi dan kekuasaan kapitalisme dalam
menciptakan pasar-pasar dan mengendalikan tenaga kerja (Harvey, 1985). Adanya mal-mal yang dibangun menyingkirkan pedagang-pedagang kecil.
Memang membaca modernisasi kota tidak dapat dilepaskan dari aspek ekonomi dan konflik sosial antar kelas. Anthony Reid, mempresentasikan bahwa pertumbuhan kota modern awal terjadi karena perdagangan. Suburnya hubungan perdagangan maritim Asia abad 13 dan 14 membuat kota-kota pantai seperti Tuban, Gresik, dan Malaka memiliki hubungan langsung ke jalur pelayaran internasional (Mahatmanto, 2003: 19).
Bahkan Marx pun mengintepretasikan kota sebagai kemajuan besar dalam produktivitas yang dibawa
kapitalisme, dan di sisi lain memunculkan kemiskinan dan ketidakpedulian (Barker, 2005:390).
Akan tetapi, perubahan kota dapat dibunyikan dengan cara lain lewat pembacaan kota sebagai teks. Di sini adalah soal representasi. Kota terdiri dari ruang-ruang yang membedakan satu sama lain. Ruang glamor, ruang kumuh, ruang formal, dan ruang kelas menengah merupakan klasifikasi kultural atau pembagian spasial yang nyata di masyarakat (Barker, 2005:417). Ruang-ruang tersebut saling diperebutkan. Di sini terjadi tindakan menutup-nutupi atau menghilangkan ruang yang disebut kumuh, negatif dan
informal.
Hal ini disesuaikan dengan hubungan kekuasaan yang pada akhirnya sampai pada perubahan aturan-aturan
sosial sebagai acuan untuk menjalankan aktivitas kehidupan. Sebagai contoh, halaman Monas di Jakarta dulunya merupakan tempat berkumpulnya masyarakat. Interaksi sosial terjadi di sana. Orang bisa nyaman
saling curhat di sana sambil menikmati makanan yang dibelinya dari pedagang-pedagang kecil yang juga ada di situ.
Tapi sekarang fungsi halaman tersebut sudah berubah. Aturan baru muncul. Tidak ada pedagang di sana. Tempat itu adalah tempat wisata resmi. Pagar-pagar besi dibuat disekelilingnya membuat situasi menjadi formal.
Munculnya kelompok pinggiran seperti pengamen, gelandangan, pengemis, waria, pedagang kaki lima, dan masyarakat kampung pinggir kali merupakan efek dari perubahan kota melalui representasi itu. Penggusuran pemukiman yang sering terjadi di Jakarta dan kota lainnya dilakukan agar kota-kota itu menjadi indah
dan areanya bisa dibangun pabrik, perusahaan ataupun supermarket. Intinya, mereka dipinggirkan agar konsep kota modern dapat ditata dan dijalankan. (Ilya F. Maharika).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar