Halaman


Prabowo Subianto For Presiden

Senin, 03 September 2012

RUANG KOTA SEBAGAI WADAH KOEKSISTENSI 1?


Sering dalam bayangan kita, kota-kota Indonesia (dan Asia pada umumnya) adalah ‘ketinggalan’ bila dibandingkan dengan kota-kota di Barat. Pandangan ini tentu saja benar jika kita membandingkan antar keduanya di bidang infrastruktur atau keindahan visual (lebih khusus lagi ‘kerapian’ dan ‘keteraturan’ ruang kotanya). Akan tetapi cara pandang ini bisa salah ketika kita melihat kota sebagai sebuah wadah bagi ko-eksistensi antara yang formal dengan yang informal.

Ramesh Kumar Biswas misalnya menggambarkan dengan sangat apik bagaimana jaringan-jaringan informal kota Mumbai mampu menciptakan aliran pasokan makanan bagi warga kota itu yang multi etnis dan multi religius. Bagaimana daging babi tidak jatuh ke tangan warga Muslim dan daging sapi tidak sampai ke warga Hindu adalah jejaring informal yang tanpa bentuk namun sangat efektif dan efisien bekerja untuk kota yang didiami lebih dari 10 juta jiwa itu (Biswas 2000).

Koeksistensi melalui ruang tercipta pula melalui model operasi sektor informal. Mengulang apa yang diikhtisarkan oleh Michel de Certeau, Margaret Crawford membedakan bahwa ada dua model operasi: strategi yang berbasis spasial dan taktik yang berbasis temporal. Strategi biasa dipraktikkan oleh mereka yang mempunyai kekuasaan karena berbasis pada postulat bahwa ‘tempat dapat dibatasi sebagaimana miliknya dan melayani sebagai basis dimana relasi dengan eksteriornya yang terdiri dari target ataupun ancaman dapat dimenej’ (a place that can be delimited as its own and serve as the base from which relations with an exteriority composed of targets and threads can be managed’).

Berlawanan dengan itu, taktik adalah cara beroperasi yang tidak memerlukan tempat khusus atau tempat yang sesuai, jadi sangat tergantung pada waktu. Taktik adalah ‘art of the weak’ yang menyelinap diantara jaring-jaring ruang yang sudah dikuasai (Crawford 1999).

Di China, villa-villa petani yang tumbuh sebagai kampung kota di Delta Sungai Mutiara (terkenal sebagai Pearl River Delta – PRD) juga merupakan hasil sebuah perkembangan kota yang instan dalam kurun kurang dari 20 tahun dimana jaringan-jaringan sosial dan informal lah yang lebih dominan berperan ketimbang mesin
produksi ruang dari negara yang hanya berfokus pada pertumbuhan kota. Tulisan kecil penulis di Kompas mengungkap fakta dibalik indahnya kota-kota China.15 Di delta itu, kota adalah entitas formal yang untuk pembentukannya diperlukan tidak hanya perangkat administratif tetapi juga pagar fisik. Kota Shenzhen misalnya adalah kota yang sepenuhnya berpagar, sebuah gated city yang berpenduduk kurang lebih 6 juta jiwa. Untuk memasuki kota itu, seseorang perlu mempunyai bukti kependudukan yang adekuat. Mekanisme itu dipakai untuk menghindarkan banjir kaum pendatang yang tidak mempunyai cukup ketrampilan bagi sektor formal di kota.

Namun demikian, strategi disintegrasi ini tak selamanya dapat berjalan dengan baik. Rembesan muncul di sana-sini apalagi ketika tumbuh ‘kota informal’ hasil mutasi pemukiman petani di sekeliling kota berpagar itu yang kemudian dipenuhi oleh kaum pendatang. Hubungan antara kota yang sepenuhnya formal dengan
kebocoran-kebocoran itu menciptakan hubungan dinamis antara keduanya. Salah satu ‘keberhasilan’ Shenzhen dan kota-kota di Delta tersebut dalam menjaga keindahannya adalah karena adanya buffer zone yang informal di sekeliling kota. Di sinilah sebenarnya, dinding pagar yang tipis dan fisikal itu telah menjadi ‘tebal’ dalam konteks sosial ekonomi. Ia menjadi zona kelabu dimana transaksi antara formal dan informal terjadi.

Di Yogyakarta, dari penelitian yang saat ini penulis sedang lakukan, terindikasi bahwa pangsa perumahan disuplai oleh dua golongan besar. Pertama adalah para ‘pengembang besar’ (misalnya yang tergabung dalam REI) yang mampu membebaskan lahan sesuai dengan aturan-aturan perumahan yang baku. Kedua adalah para ‘pedagang rumah’ yang membangun rumah dalam jumlah kecil (kadang hanya 5 rumah tetapi telah menyebut dirisebagai ‘perumahan’). Mereka memanfaatkan celah-celah dalam sistem tata atur perumahan sehingga tidak memerlukan ijin sebagai sebuah perumahan tetapi eksis di pasar sebagai pengembang perumahan. (ILYA F. MAHARIKA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar