Halaman


Prabowo Subianto For Presiden

Selasa, 04 September 2012

RUANG KOTA SEBAGAI WADAH KOEKSISTENSI 2?

Di kehidupan kota, sebuah tempat parkir di sepenggal jalan adalah teater dari hubungan formal – informal ini. Petugas parkir yang biasanya adalah pemuda kampung setempat, polisi di kantor terdekat yang memanfaatkan ruang kelabu antara larangan parkir dan ketiadaan tempat parkir legal, petugas pajak dan retribusi yang ‘melegalisir’ kartu-kartu parkir, pedagang kaki lima dan pengamen yang memanfaatkan sela-sela ruang yang dikoordinasi oleh preman yang berkuasa di area tersebut, toko atau kantor yang membutuhkan tempat dan petugas parkir untuk mengatur lalu lintas pelanggan adalah jaringan yang tak tampak tetapi nyata-nyata ada. Sebuah ruas jalan kadang dipenuhi pedagang kaki lima yang membuat jalan seakan macet adalah sebuah mekanisme ‘go slow’ yang memungkinkan terjadinya transaksi-transaksi informal antar pedagang yang menawarkan dagangan dan pengendara yang menengok kanan-kiri melihat warung yang sesuai dengan selera.


Dalam perspektif ini, maka jalan adalah sebuah ruang sosial yang kaya akan relasi dan bukan semata sebuah infrastruktur kota. Dalam perspektif ini, jalan tersebut adalah sebuah ruang sosial yang mungkin tampak khaos, meminjam istilah Deleuze, adalah ‘sum of possibilities’ yang kaya akan relasi. Jalan sebagai ruang sosial dengan demikian akan mengundang perlambatan bahkan perhentian untuk memberi kesempatan pada relasi sosial untuk terbentuk secara instan dan temporer.


Wacana seperti itu, kini, juga sedang digugat dalam melalui wacana yang dikembangkan oleh Rem Koolhaas, seorang arsitek bintang dari Belanda yang masa kecilnya pernah tinggal di Indonesia. Dalam pengamatan Koolhaas terhadap fenomena di kota Lagos, Nigeria, kampung-kampung yang kumuh sebenarnya menampilkan rupa yang berbeda ketika ia dilihat dari udara. Dari helikopter kepresidenan yang berhasil ia sewa, Koolhaas melihat bahwa tumpukan drum, ban bekas, dan barang-barang kumuh lainnya ternyata merupakan sebuah ‘organisasi’ yang secara sistematis mengolah dan mendistribusikan barang-barang tersebut menjadi komoditas yang lebih berguna. Dalam ‘Fragments of Lectures on Lagos’ yang menampilkan dua perspektif yang berbeda tersebut Koolhaas ingin memperlihatkan kekurangan validitas pengetahuan kita terhadap fenomena informalitas di Lagos.

Dalam  melihat sebuah fenomena, kita sering menyimpulkan berdasar asumsi dan prekonsepsi yang ternyata bisa menjadi sangat berbeda ketika cara pandangnya diubah. Dipandang sekilas, kota-kota di Afrika adalah kota yang kheos, berantakan, bahkan dikatakan sebagai kota yang disfungsi. Tetapi dengan pengamatan yang lebih mendalam Koolhaas mengetahui bahwa kheos tersebut ternyata adalah bagian dari mekanisme yang lebih besar yang melibatkan proses-proses dalam kota tersebut untuk mengorganisasi dirinya secara organis. Simpulnya: ‘From the air, the apparent burning garbage heap turned out to be, in fact, a village, an urban phenomenon with a highly organized community living on its crust. Our preoccupation with the apparently ‘informal’ had been premature, if not mistaken.’ The interweaving between traffic and humans, between infrastructure and bodies, is a very effective way, if not an ‘intelligent’ one’ (Koolhaas
2003).

Intinya, ketika kita menilik aspek ini maka kota-kota di Asia telah jauh lebih ‘maju’ ketimbang kota-kota Eropa. Di masa mendatang, terutama di kota-kota besar, merekalah yang akan menjadi lebih mirip kota Asia. Bukan sebaliknya. Seperti batu bata yang menjadi cikal bakal sebuah rumah, informalitas terpraktikkan di kota sebagai cikal bakal dari kota itu sendiri. (ILYA F. MAHARIKA).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar