Jumat, 03 Agustus 2012
Meningkatkan Tangga Partisipasi Masyarakat
By: MAYA ROSTANTY
Partisipasi masyarakat di setiap siklus APBD masih sangat minim dan menempatkan pemerintah daerah dan DPRD sebagai aktor utama. Di proses penyusunan APBD, aturan perundangan menempatkan Musrenbang sebagai saluran resmi partisipasi masyarakat. Namun, tujuan Musrenbang adalah mendapatkan masukan atas Draf Awal dari dokumen perencanaan.
Pada saat pembahasan APBD di DPRD, tidak ada aturan yang secara eksplisit menerangkan tentang keterlibatan masyarakat dalam proses APBD. Begitu juga dengan tahap pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBD. Jika kondisinya demikian, apakah partisipasi masyarakat dalam setiap tahap siklus APBD penting? Bukankah masyarakat sudah memiliki wakil yang duduk sebagai anggota DPRD?
Setidaknya ada lima alasan mengapa partisipasi masyarakat dalam setiap
tahap siklus APBD penting: Pertama, dalam sistem demokrasi perwakilan, ada kecenderungan wakil rakyat adalah kelompok elite yang seringkali tidak memiliki hubungan langsung dengan konstituennya.
Proses ini sering disebut sebagai proses pembajakan demokrasi oleh kelompok elite (capture by elite). Selain itu, ada kelemahan internal dari mekanime demokrasi perwakilan, yaitu jarak yang lama antara satu Pemilu dengan Pemilu berikutnya (rata-rata empat sampai lima tahun).
Jarak yang lama memungkinkan para wakil rakyat melupakan janji-janji waktu kampanye, baik karena kebutuhan pragmatis, kepentingan pribadi, maupun penyalahgunaan jabatan. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan instrumen kelembagaan agar pejabat publik yang terpilih dan partai politik dapat terus menerus berkomunikasi dengan organisasi
masyarakat sipil.
Instrumen kelembagaan ini bukan merupakan pengganti dari demokrasi perwakilan melainkan instrumen untuk memperdalam demokrasi (deepening democracy). Jika demokrasi perwakilan berkaitan dengan bagaimana partai politik berebut kekuasaan untuk menduduki jabatan publik, maka demokrasi partisipatoris berkaitan dengan bagaimana pejabat publik “berkomunikasi” dengan masyarakat sipil dalam menentukan kebijakan publik.
Kedua, kenyataan sosial bersifat komplek. Para ahli dan birokrat -yang biasanya secara intens memproses kebijakan publik untuk diputuskan secara politik- tidak mungkin memiliki seluruh informasi yang memadai untuk membuat kebijakan yang menguntungkan semua orang (optimum).
Untuk itu diperlukan proses-proses sosial dengan membuka ruang terbuka dan adil dimana masyarakat dapat menegosiasikan berbagai preferensi utuk kemudian memutuskan mana yang terbaik untuk semua.
Ketiga, kecenderungan semakin rendahnya rasa kepemilikan rakyat terhadap pemerintahan yang terjadi dalam negara-negara yang menjalankan demokrasi perwakilan. Proses pemerintahan hanya dipandang sebagai wahana negosiasi dan difusi kepentingan partai politik di parlemen.
Pada akhirnya proses ini dapat juga mengurangi legitimasi pemerintah, karena jumlah
pemilih cenderung menurun karena pemilih menganggap proses-proses pemerintahan tidak terkait langsung dengan kepentingan mereka. Untuk itu perlu komunikasi langsung antara pemerintah dengan rakyat tidak dengan melalui jalur partai politik. Melalui komunikasi langsung dengan masyarakat maka masyarakat menjadi merasa memiliki pemerintahan. Selain itu proses ini juga penting untuk mengatasi krisis legitimasi pemerintahan.
Keempat, partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dapat meningkatkan kinerja administrasi pemerintahan. Melalui partisipasi maka informasi yang tidak seimbang (asimetri informasi) dapat diatasi. Informasi yang tidak seimbang merupakan penyebab utama terjadinya korupsi di tingkat administrasi pemerintahan. Partisipasi juga meningkatkan akuntabilitas pemerintahan.
Kelima, ruang yang terbuka dan adil merupakan wahana bagi pembelajaran politik masyarakat sipil dalam bernegosiasi dan memutuskan mana yang terbaik mengenai kebijakan publik. Ruang belajar ini penting, karena dalam sistem demokrasi, pada akhirnya pemerintahan harus diisi oleh orang-orang yang semula merupakan anggota dari masyarakat sipil. Jika orang-orang ini masuk dalam pemerintahan maka dia sudah memiliki pemahaman dan pengalaman yang memadai mengenai negosiasi dan pengambilan keputusan publik yang adil dan demokratis. (BERSAMBUNG....).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar