Selasa, 10 Juli 2012
DIAGRAM DINAMIKA INFORMALITAS
Oleh: Ilya F. Maharika
Dalam semangat untuk melihat ‘gestalt’ dari informalitas,
makalah ini berusaha menangkap sinyal bahwa sektor infomal tidak
dapat dilihat sebagai sebuah entitas unik ‘yang berbeda’ dengan yang
formal. Mereka adalah sebuah entitas yang dinamis saling berkaitan.
Di sini, sesuai dengan latar belakang pengetahuan penulis yaitu di
bidang keruangan, arsitektur tepatnya, maka ruang kotalah yang
menjadi lokus pembahasan. Ruang adalah situs bagi dinamika di
mana sektor informal dan formal sering tampak – atau sering
dianggap – saling beroposisi, ajang pertarungan antar keduanya.
Akan tetapi ketika kita melihat hal tersebut dalam kerangka ruang
sosial maka barangkali setiap penggal setting sektor informal adalah
sebuah dinamika pertemuan antar dua sektor itu yang tidak harus saling bertentangan.
Dengan cara pandang diagramatik yang ‘menspasialisasikan’
realitas jamak tentang informalitas ini (ekonomi, sosial, budaya,
politik dan lain-lain yang mungkin terlibat), penulis berargumen,
bahwa tidak ada resep universal yang bisa disodorkan untuk
mengatasi ‘problem sektor informal’ di paras perencanaan kota.
Alih-alih mencari resep atau kriteria formal dan universal, kita justru
harus bertolak dari premis bahwa setiap setting di kota adalah unik
yang memerlukan solusi-solusi yang juga unik. Sepenggal jalan
mungkin sama dalam makna fisiknya. Tetapi dalam makna ruang
sosial, jalan yang dipenuhi oleh kaki-lima adalah ruang sosial yang
unik yang dibentuk oleh jaringan-jaringan formal dan informal. Oleh
karenanya kebijakan terhadap sektor informal harus juga melihat kait
hubungnya dengan sektor formal di situs tersebut. Alat-alat
perencanaan yang lebih partisipatif harus dibangun untuk memberi
kesempatan pada datangnya model representasi yang akurat terhadap
entitas sektor informal dan rekonsiliatif. Dengan demikian
perencanaan menjadi tidak salah sasaran, misalnya ke para preman
atau pemain bisnis besar yang bersembunyi di balik wajah informal
yang sebenarnya sudah memasuki daerah sebagai aktifitas ilegal,
atau justru menjadi sebuah penindasan atas nama klaim kebenaran
sepihak yang didasari pemahaman yang tidak adekuat.
Penggusuran dan relokasi seting informal (kakilima, rumah
squatter, ‘permukiman kumuh’ misalnya) adalah strategi bagi
otoritas untuk mencapai upaya kontrol terhadap entitas yang sangat
cair ini. Dari paparan ini diharapkan kita mampu mengidentifikasi
bahwa strategi di atas tidak cukup untuk mengatasi ‘masalah’
informalitas. Diperlukan ide-ide yang lebih komprehensif dan
didasari pemahaman yang lebih situasional terhadap koneksi-koneksi
yang terjadi dalam sebuah seting informal. Konsep-konsep dalam
tulisan ini diharapkan dapat menjadi komponen bagi eksplorasi ke
arah tersebut. (BERSAMBUNG...)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar