Minggu, 08 Juli 2012
DIAGRAM DINAMIKA INFORMALITAS
Oleh: Ilya F. Maharika
Berbeda dengan wacana yang biasanya memposisikan secara
oposisional, makalah ini melihat bahwa sektor infomal tidak dapat
dilihat sebagai sebuah entitas unik dan terpisah dari yang formal. Untuk
itu, memetakan relasi-relasi yang timbul dalam dinamika menjadi
penting. Makalah ini mengungkap ‘gestalt’ dari dinamika informalitas.
Terdapat paling tidak empat konsep yang relevan yaitu cara pandang
terhadap informalitas, peran khusus dalam konteks pembangunan,
informalitas sebagai proses pemiskinan dan informalisasi dalam struktur
kekuasaan. Sebagai penutup, makalah ini mengindikasikan ruang kota
sebagai wadah koeksistensi antara informalitas dan yang formal. Bagi
makalah ini informalisasi yang terpraktikkan di kota adalah cikal bakal
dari kota itu sendiri.
Kata Kunci: sektor informal, ruang kota, ruang sosial.
Menyusun Pemahaman ‘Sebuah konsep adalah sebuah bata.’ Bata adalah metafora bagi
konsep, demikian bagi Brian Massumi ketika menjelaskan buku A
Thousand Plateaus dari Gilles Deleuze dan Felix Guattari (Deleuze
and Guattari 1987). Bata tidak punya subjek maupun objek. Ia bisa
disusun berdasar alasan dan order tertentu, tetapi bisa pula sekedar
dibuang melalui jendela. Ia bisa menyusun sebuah bangunan, bisa
pula sekedar menjadi pengganjal almari. Bata, atau demikian pula
konsep, adalah entitas elementer. Yang menjadi perhatian bagi
Deleuze dan Guattari adalah circumstance – yang sayang menjadi
terlalu dangkal dengan padanan Bahasa Indonesianya ‘pengaruh’ –
dimana konsep sebenarnya adalah sebuah susunan dari pengaruhpengaruh
itu. Barangkali metafora ini dapat memberikan gambaran
pada cara paparan terhadap fenomena informalitas di Indonesia yang
menjadi fokus dalam tulisan ini. Hal ini didasari pada situasi di mana
semua usaha untuk mentaksonomikan entitas yang sering disebut
sebagai sektor informal adalah usaha yang selalu berakhir pada kesalahan atau bias selama kita berada dalam kerangka berpikir yang
formal. Secara leksikal, disebut informal adalah karena ia berada ‘di
luar’ dari lingkaran yang dipahami sebagai yang formal. Oleh
karenanya, biasanya kita sering meletakkan informal sebagai lawan
kata dari formal, sebuah entitas ‘di luar sana’ atau dilabeli dengan
kata ‘mereka’ ketika ‘kita’ didefinisikan sebagai yang formal.
Dengan kondisi yang selalu eksternal terhadap pemikiran
formal itu, maka setiap penulisan ‘konstruksi pemahaman’ terhadap
entitas informal menjadi sekedar klaim politis saja. Hal ini persis
seperti ketika kita menulis wacana postkolonial misalnya, dimana
penulis ingat pada wejangan Anthony D. King, seorang
postkolonialis dan sejarawan kota, bahwa ketika kita menulis, usaha
ini akan akan senantiasa berakhir pada politik penulisan, tentang apa
yang kita anggap penting, kepada siapa kita akan disodorkan. Di
sinilah model pemaparan a la Deleuze, melalui semacam ‘diagram’
yang memetakan konsep-konsep yang relevan, mungkin menjadi
alternatif untuk mengurangi politisasi tersebut. Dengan cara ini,
terbuka peluang untuk mengupas dinamika informalitas dari konsepkonsep
yang sangat fundamental namun masih ‘telanjang’ belum
dikerangkakan dalam struktur klaim tertentu. Diharapkan, mereka
menjadi batu bata konsep, yang dapat disusun oleh para pembaca
menjadi konstruksi pemahaman yang lebih bersifat subjektifkontekstual
atau untuk mewacanakan konstruksi pemahaman
rekonsiliatif: intersubjektif - interkontekstual. (BERSAMBUNG...)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar