Jumat, 04 Mei 2012
KEKERASAN PADA JURNALIS TIDAK PERNAH BERUJUNG PADA PENYELESAIAN HUKUM
Dalam rangka Hari Kebebasan Pers Internasional 3 Mei 2012, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) BandarLampung meminta agar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ditegakkan, sehingga para penghalangnya harus dipidanakan.
Selama ini, banyak pihak yang tidak menggunakan UU Pers, terutama untuk pemidanaan para aktor penghalang kebebasan pers, kata Ketua AJI Bandarlampung, Wakos Reza Gautama, didampingi Sekretaris, Padli Ramdan, di Bandarlampung, Kamis.
Wakos mengemukakan, selama ini banyak kasus kekerasan yang terjadi terhadap jurnalis tidak pernah berujung pada penyelesaian hukum.
AJI Bandarlampung mencatat, selama Januari-Mei 2012, setidaknya ada tiga kekerasan jurnalis terjadi di Lampung.
Pertama adalah pengusiran dua wartawan, yaitu Tika (jurnalis Lampung Ekspres Plus) dan Esa Mutiqa Sari (harian Radar Lampung) yang sedang meliput persidangan oleh hakim di Pengadilan Negeri Tanjungkarang.
Kedua dialami oleh jurnalis Radar Lampung Segan Petrus Simanjuntak. Segan mengaku telah dicaci maki oleh Penjabat Bupati Mesuji Albar Hasan Tanjung.
Ketiga, kekerasan yang dialami jurnalis Harian Bongkar Lampung, Emir Fajar Saputra. Blackberry milik Emir dirampas oleh petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandarlampung.
Emir ketika itu sedang mengambil gambar para petugas Satpol PP yang sedang ribut dengan seorang ibu melalui ponsel Blackberrynya.
Menurut Wakos, masih banyak juga penghalangan yang dilakukan oknum aparat negara terhadap jurnalis dalam meliput.
Padahal, lanjut dia, tindakan penghalangan jurnalis dalam melakukan kerja jurnalistik itu, bisa dipidanakan.
Ia menyatakan, hal itu diatur di dalam pasal 18 UU Pers.
Wakos menegaskan bahwa setiap tindakan yang menghalangi kebebasan pers, bisa dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
"Kalau ada yang menghalangi tugas wartawan, bisa dilaporkan ke penegak hukum. Penegak hukum harus memprosesnya karena ini diatur dalam undang-undang," kata dia.
Selama ini, banyak kasus penghalangan kerja jurnalis tidak berakhir di meja hijau, melainkan hanya dengan mediasi.
Hal inilah, ujar dia pula, mengakibatkan tidak jera orang-orang untuk melakukan penghalangan kerja jurnalis.
AJI Indonesia telah menyatakan bahwa peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional 3 Mei 2012, harus menjadi momentum bagi komunitas pers untuk menuntut aparat hukum mengakhiri praktik impunitas pembunuh jurnalis.
Sejak 1996, sedikitnya terdapat delapan jurnalis telah dibunuh, namun kasusnya terbengkalai dan para pelakunya belum diadili.
AJI Indonesia menjadikan tuntutan "Lawan Impunitas, Adili Pembunuh Jurnalis" sebagai tema peringatan 3 Mei 2012.
Perilaku aparat penegak hukum yang terus mengambangkan delapan kasus pembunuhan jurnalis itu, dinilai merupakan bentuk praktik impunitas negara kepada para pembunuh jurnalis.
Aparat penegak hukum, menurut Ketua AJI Indonesia, Eko Maryadi, dinilai sengaja melindungi para pembunuh itu, sehingga mereka bebas dari hukuman pengadilan.
Delapan kasus pembunuhan jurnalis yang kasusnya tak terselesaikan adalah kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999).
Lalu, kasus Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003), Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nanggroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006), Adriansyah Matrais Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010) dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010).
AJI mendesak kasus-kasus tersebut dituntaskan, sehingga para pelakunya bisa dipidanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. (Ant/B014).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar