Senin, 20 Agustus 2012
"KRISIS" PASAR TRADISIONAL; KALAU TIDAK JELAS SEBAIKNYA TIDAK USAH ADA PENGELOLA
Retribusi pada para pedagang dalam "krisis" pasar Tradisional dianggap bukan persoalan pokok yang membuat situasi dibeberapa pasar Kota Bekasi tidak cukup prospektif bagi warga pasar/ ruko. Salah satu persoalan yang dianggap menjadi persoalan adalah turunan dari kewajiban pembayaran retribusi pasar adalah pengelolaan sampah dari keberadaan pasar.
Di Ruko Mitra Bekasi setiap pedagang dikenakan biaya Rp. 15 ribu sampai dengan Rp. 30 ribu, seperti dikatakan Edy selaku ketua paguyuban warga blok F dan G, untuk keperluan kebersihan sampai parkir. "Setiap hari kurang lebih 250 pedagang ditarik retribusi, baik kebersihan, lampu, pungutan timbangan sampai dengan pakir angkut muat barang di kutip antara Rp 15 ribu sampai Rp. 30 ribu," katanya.
Persoalan pengelolaan lahan sayangnya semakin hari semakin meprihatinkan karena kondisi lingkungan yang samakin semrawut dan selalu lahir persoalan yang membuat warga ruko menjadi tidak nyaman berusaha. Kondisi fasilitas jalan yang semakin hancur, kotor dan masih adanya sampah dilokasi para pedagang sementara membuat Warga Ruko Blok F dan G sempat meminta pendampingan dari Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) baik TUNTUTAN Warga Ruko atas pengelolaan maupun mediasi ke pihak pemkot.
Edy pun menunjukkan berita acara Musyawarah yang dilakukan untuk penyelesaian krisis pengelolaan pasar dengan bermodal keberanian mempertanyakan dengan membentuk Paguyuban Sejahtera warga Blok F dan G. "Kami tidak mau kalau pada akhirnya hanya keresahan saja yang dihasilkan, oleh sebab itu dengan disaksikan Lurah dan Camat kami meminta pemisahan diri dari Paguyuban Warga Ruko Mitra Bekasi agar kondisi membaik," kata Edy.
Sementara itu Budi Muliawan salah satu anggota Warga ruko menjelaskan bahwa pokok persoalan sesungguhnya adalah ketidak jelasan pengelolaan pasar baik administratif maupun manajemen penataan lingkungan Ruko. "Sampai sekarang kami tidak pernah terima laporan dari pengelolaan lahan yang sudah lama dikelola Jhonson Jarnalis dan sekarang eks keamanan bernama R. Sin menjadi perpanjangannya," katanya.
Kondisi lingkungan ruko yang semakin hari semakin tidak terawat, menurut Budi, merupakan bukti dari ketidak mampuan Paguyuban yang pernah dibentuk sebelumnya. Walau pun sempat dibebankan biaya peralihan 2 pos jaga senilai Rp. 40 juta, Paguyuban Sejahtera Warga Ruko Blok F dan G tetap berjuang untuk memperjuangkan harapannya.
Bukti kwitansi sebesar Rp. 40 juta yang menjadi arsip, ditunjukkan ketika CODE SMUTs melakukan pemantauan, seperti tidak artinya ketika Walikota Bekasi justru hanya menyarankan adanya bagi hasil dari pengelolaan lahan. "Jadi percuma apa yang sudah dilakukan dengan musyawarah, kondisinya ketika terjadi persoalan hanya warga Paguyuban Sejahtera saja yang ditegur, sedangkan R. Sin cs tidak, kalau tidak jelas sebaiknya tidak usah ada pengelolaan saja," kata Budi. (Don).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar