Halaman


Prabowo Subianto For Presiden

Selasa, 01 Desember 2009

RESENSI MENGURAI KESALAHAN PEMBANGUNAN KOTA

Kota Jakarta, serta mayoritas kota besar lain di Indonesia, mencerminkan kebijakan tata kota yang gagap. Berbagai masalah-seperti kemacetan lalu lintas, kerusakan lingkungan, kriminalitas, urbanisasi, kemiskinan, dan pengangguran-tak henti meneror warga. Kota yang semestinya menawarkan kenyamanan untuk tinggal dan beraktivitas justru berkembang sebagai kawasan
yang tidak ramah bagi penghuninya.

Gedung bertingkat, pertokoan, mal, atau perumahan begitu cepat menjejali berbagai sudut kawasan sehingga kota seakan hanya dibuat untuk melayani pasar. Saat bersamaan, komunitas lokal bersama budayanya semakin terdesak ke pinggir. Warga menjadi apatis, dan rasa memiliki mereka terhadap kota berangsur lenyap.

Apa sesungguhnya yang terjadi di kota-kota di Indonesia? Sebuah buku berjudul Kota Tanpa Warga karya Jo Santoso menguraikan akar masalah perkotaan yang sudah lama merundung negeri ini. Bagi Jo Santoso, keterpurukan kota-kota di Tanah Air sebagai akibat dari akumulasi kesalahan dari serangkaian kebijakan, strategi, dan pengembangan program perkotaan selama 25 tahun lebih.

Strategi pengembangan perkotaan bermasalah karena dilepaskan begitu saja kepada mekanisme pasar bebas yang berideologi neoliberalis. Padahal, pasar hanya berorientasi pada kepentingan kelompok kuat, terutama pemilik modal dan investor, sedangkan hajat bersama seluruh warga malah terabaikan. Akibatnya, kota tumbuh secara instan, tidak rasional, dan tak memiliki visi dalam menghadapi globalisasi.

Kebijakan pengembangan kota nyaris dikungkungi kepentingan elite semata, yaitu pemerintah dan pemodal. Dan warga tidak pernah dilibatkan untuk menentukan apa, di mana, kapan, dan untuk apa fasilitas dibangun di kota itu. Warga pun tercecer, kota kehilangan partisipasi mereka, dan terancam ditinggalkan penduduk yang berkualitas.

Contoh konkret kebijakan yang tidak menenggang warga adalah kota tidak berniat menyediakan ruang publik bagi warga. Setiap ruang diperebutkan antarkelompok. Padahal, konsep kota modern memperkenalkan ruang privat dan ruang publik, yang merupakan milik bersama yang penggunaannya ditentukan secara bersama. Ruang publik yang terbuka menjadi sarana untuk menyemai tenggang rasa, toleransi, serta menghidupkan sisi keberadaban manusia.

Pengembangan kota harus dikendalikan agar tumbuh sebagai tempat hidup yang sehat dan berkualitas. Semua pemangku kepentingan dari berbagai lapisan masyarakat dilibatkan dalam penentuan tata kota. Kota harus dikembalikan pada fungsi dasarnya sebagai permukiman yang memenuhi kualitas standar, sekaligus dikembangkan lebih inovatif lagi agar memiliki fungsi penting dalam struktur hierarkis sistem global kota dunia.

Jo Santoso menawarkan tiga strategi pengembangan kota, yaitu peningkatan standar livability sebagai indikator untuk mengukur kualitas kota sebagai permukiman, pengembangan dan pembinaan kawasan, serta pembangunan institusi khusus untuk pembiayaan. Dalam praktiknya, permukiman kota hendaknya dibangun dengan mengacu pada nilai-nilai komunitas yang memiliki latar belakang sejarah dan budaya tersendiri (tipologi kuarter). Manusia dan ruang hidup atau habitat harus dianggap sebagai kesatuan yang utuh.

Buku setebal 238 halaman ini dibagi dalam enam bab. Bab I mengulas kota sebagai konsep peradaban; bab II tentang urbanisasi, globalisasi, dan disintegrasi fungsi kota; bab III tentang transformasi sistem perkotaan dan strategi menghadapi era global; bab IV tentang tiga strategi menuju pengembangan kota yang berkelanjutan; bab V menyoroti Surabaya sebagai studi
kasus kelahiran kota modern; dan bab VI mengupas modernisasi kota berbasis
tipologi kuarter.

Sesuai judulnya, buku ini menohok kenyataan, pembangunan kota-kota di Indonesia menafikan partisipasi warga. Warga tidak dihitung sebagai manusia yang berhabitat dalam ruang, tetapi menjadi angka semata. Terjadilah apa yang disebut “kota tanpa warga”.

Dalam situasi semacam itu, masyarakat kehilangan kesempatan untuk meretas budaya dan peradaban. Padahal, menurut Jo, kota merupakan pusat kultural dan peradaban, sumber identifikasi diri penduduknya. Kota-kota besar dunia, seperti Beijing, Roma, Athena, Paris, dan London, tak hanya merupakan pusat ekonomi dan kekuasaan, melainkan sekaligus simbol peradaban (halaman 28).

Jo Santoso adalah doktor lulusan arsitektur di Hochschule der Kunste Berlin Barat, Jerman, tahun 1981. Tak hanya berbekal wawasan akademis, dia juga sempat terlibat dalam perencanaan sejumlah proyek kota baru, seperti Bumi Serpong Damai (BSD), Lippo Karawaci, dan Bukit Semarang Baru. Saat ini dia dipercaya sebagai Ketua Program Magister Pengembangan Kota dan Real Estate di Universitas Tarumanegara, Jakarta.

Latar belakang akademis dan pengalaman Jo cukup tergambar dalam buku ini. Untuk memahami persoalan kota sebagai cermin kebudayaan, misalnya, pembaca diingatkan sekilas sejarah kota-kota di dunia, sejak masa prasejarah, kota-kota tua seperti Mesopotamia dan Mesir, hingga kota-kota modern di dunia. Pembaca lantas disodori masalah urbanisasi dan globalisasi yang memengaruhi perkembangan kota.

Pengalaman kerja Jo sebagai arsitek terasa saat mengurai kesalahan-kesalahan yang menyebabkan malfungsi sistem kerja institusi perkotaan di Tanah Air, disertai beberapa contoh kasus. Studi kasus Surabaya sebagai kota modern memperlihatkan ketekunan penulis dalam menyibak aspek sejarah sejak abad ke-13 Masehi serta aspek pembentukan kota seiring dengan perkembangan sosial-politik pada masa kerajaan Jawa, kolonial, hingga kemerdekaan.

Kehadiran buku ini jelas turut melengkapi kelangkaan literatur tentang tata
kota karya penulis-penulis Indonesia, seperti Eko Budihardjo (Kota Berwawasan
Lingkungan), Marco Kusumawijaya (Kota Rumah Kita), dan Hadi Sabari Yunus
(Manajemen Kota: Perspektif Spasial). Dibandingkan penulis lain, Jo cukup
berhasil merumuskan gagasan dengan landasan berpikir yang runut, argumentatif,
dan sebagian terasa filosofis. Beberapa renungannya patut dipertimbangkan oleh
elite politik di negeri ini demi melahirkan kebijakan tata kota yang lebih
baik.

Hanya saja, kritik Jo Santoso terhadap strategi pengembangan kota-kota di Indonesia tidak disertai paparan yang jelas tentang tipologi kota yang diidealkannya itu. Tanggapan ini juga disinggung pengajar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta, F Budi Hardiman, dan Guru Besar Planologi ITB Bandung Timmy Firman .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar