Minggu, 20 Mei 2012
Syafi'i Ma'arif Tentang Good Civilization, Kebangkitan dan Prinsip2
Saat menunggu pertandingan sepakbola final Liga Champion semalam, saya tanpa sengaja melihat tayangan TVRI yang bertajuk "Fokus Internasional". Acara tersebut dipandu oleh dua orang, yaitu: Saudara Agus Haryadi dan Deasy Indriyani. Dalam tayangan tersebut, keduanya mengajak para penonton untuk merenungkan makna perjuangan individu-individu para tokoh pemimpin dunia yang memegang teguh prinsip-prinsip kepemimpinan, yang dirumuskan secara universal merupakan amanah untuk membawa kebaikan dan tanggungjawab moril terhadap bangsa yang dipimpin. Kedua pemandu dengan bahasa yang sederhana serta tuturan kalimat yang runtut (”Salute untuk saudara Agus dan Deasy atas tampilannya yang sempurna”) mampu membuka imajinasi saya tentang para pemimpin negeri-negeri yang berperadaban tinggi ("Good civilization", seperti ungkapan Professor DR. Ahmad Syafi’i Ma’arif, nara sumber yang dimintai pendapatnya dalam sesi akhir acara).
Saya paham, kelihatannya TVRI, melalui kedua pemandu acara tersebut benar-benar ingin menyindir secara halus kondisi krisis kepemimpinan di Tanah Air, pada saat ini. Penggambaran tokoh Mahatma Gandhi dan Bung Karno, sebagai contoh dua orang pemimpin yang bersedia menanggung penderitaan saat memimpin, dibandingkan dengan tiga orang pemimpin dunia yang semata-mata hanya menggunakan kekuasaannya untuk bersikap otoriter, yaitu: Stalin, Idi Amin, dan Hitler, seolah-olah menegaskan bahwa Gandhi dan Soekarno, merupakan tipe pemimpin yang menggunakan umur hidupnya untuk berkorban demi kemerdekaan bangsanya dari penjajah negeri asing. Sikap berjuang menyuarakan demokrasi juga digambarkan melalui contoh pejuang demokrasi dari Myanmar: Aung San Su Kyi serta sosok Anwar Ibrahim, dari Malaysia.
Sikap mengakui ketidakpantasan yang dilakukan oleh beberapa kepala pemerintahan di Jepang, negara-negara Skandinavia, dan Jerman, juga menjadi contoh bahwa nilai-nilai moralitas yang dianut para pemimpin negeri tersebut telah mendarah daging dengan baik, sehingga tindakan yang dianggap tidak pantas dilakukan oleh seorang pemimpin akan menjadi beban moral bagi pejabat yang bersangkutan. Sebagai contoh digambarkan saat presiden Jerman, Christian Wulff, terpaksa harus melepaskan jabatannya, gara-gara "terindikasi" telah mendapat perlakukan istimewa saat menjabat sebagai gubernur, yakni: mengajukan keringanan kredit rumah. Sikap para pemimpin pemerintahan Jepang yang dilandasi etos "Samurai" juga menjadi sumber inspirasi positif dalam sikap tanggung jawab dalam memimpin.
Dari benteng Vredeburg, jalan Malioboro, kedua penyiar tersebut lalu berkunjung ke kantor pusat Muhammadiyah Yogyakarta, di jalan KH. Achmad Dahlan untuk berbincang-bincang dengan Professor DR. Ahmad Syafi’i Ma’arif. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh kedua pewawancara sangat "menggigit", demikian pula jawaban-jawaban yang diberikan oleh Buya Syafi’i. Seperti yang telah saya ketahui, bahwa mantan pemimpin Muhammadiyah tersebut sering menulis opini, yang senantiasa memberi pencerahan mengenai kondisi ideal dalam memimpin negeri plural seperti Indonesia.
Pertanyaan yang diajukan kedua pewawancara terlihat tetap dalam koridor "tantangan mewujudkan sosok pemimpin Indonesia yang mampu membawa perbaikan bagi Indonesia". Saya sempat ingat adalah ucapan Ahmad Syafi’i Maarif tentang Dwi Tunggal Soekarno Hatta, yang mengalami perpecahan pada tahun 1958. “Seandainya, kedua pemimpin itu tidak berpisah, saya yaqin Indonesia akan menjadi negara besar yang mempunyai peradaban lebih baik”. ”Soekarno sebagai orator terbesar abad 20, didampingi Hatta selaku pemikir strategis namun tidak sehebat Soekarno dalam membangkitkan semangat rakyat, adalah perpaduan sempurna untuk mewujudkan Indonesia menjadi besar”.
"Good civilization" akan dihasilkan oleh pemimpin yang mempunyai berperadaban tinggi, sebaliknya "bad civilization" akan dihasilkan oleh pemimpin yang berperadaban buruk. Tolok ukurnya terletak pada tujuannya saat menjadi penguasa. Apakah kekuasaannya hanya berorientasi pada kepentingannya pribadi ataukah kekuasaan yang berorientasi demi kepentingan bangsa dan negaranya.
TVRI merupakan salah satu agen perubahan peradaban bangsa menuju arah yang lebih baik, demikian ungkap Ahmad Syafi’i Ma’arif. Tayangan yang saya tonton semalam telah menegaskan bahwa stasiun televise yang dulu menjadi "corong" pemerintah, telah berubah menjadi sarana control bagi jalannya perubahan peradaban bangsa Indonesia menuju cita-cita nasional yang diikrarkan oleh para "founding father" bangsa Indonesia serta para tokoh pergerakan pada tahun 1908 dan 1928. (*)
Live from BlackBerry® on AHA - I like it!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar