Minggu, 22 Januari 2012
HUBUNGAN INDUSTRIAL TERKOYAK KARENA UPAH
Reaksi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang melakukan gugatan terhadap Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengenai upah minimun kabupaten/kotamadya (UMK) dinilai kontraproduktif. Pasalnya, hal itu bukannya menyelesaikan masalah, melainkan justru memperkeruh suasana. "Reaksi keras dari Apindo justru saya nilai kontraproduktif karena faktanya bisa terlihat dari terkoyaknya harmonisasi hubungan industrial melalui berbagai aksi buruh yang disertai dengan pembangkangan berupa pemblokiran jalan," ujar Wakil Ketua Komisi VI Erik Satrya Wardhana, Sabtu (21/1/2012).
Ia mengimbau semua pihak untuk saling introspeksi, jangan memperuncing polemik di luar konteks penyelesaian substansi masalah, yaitu ketetapan upah secara adil dan bermartabat. "Jangan sampai terjadi ironi pada negeri ini, di tengah pemerintah memamerkan keberhasilan menggawangi makro ekonomi dengan raihan investment grade, tapi jantung iklim investasi, yaitu hubungan industrial, terkoyak karena masalah mendasar, yakni upah," tutur Erik.
Ia mengingatkan, polemik menyangkut upah berpotensi terjadi setiap tahun. Langkah-langkah yang kontraproduktif yang memicu kericuhan akan berdampak serius pada iklim investasi dan daya saing nasional.
Menurut Erik, polemik mengenai upah terjadi karena tiga faktor. Pertama, lemahnya kapasitas kelembagaan di level dewan pengupahan yang terdiri dari unsur tripartit, yaitu buruh, pengusaha, dan pemerintah, sehingga ketidakpuasan atas ketetapan upah membuka peluang ditempuh melalui jalur lain di luar forum tripartit."Dalam kasus Bekasi pengusaha mem-PTUN-kan keputusan upah, sedang buruh merasa tidak dihormati kesepakatannya, lalu mengerahkan massa," kata dia.
Kedua, paradigma upah dalam hubungan industrial masih dinilai sebagai pengeluaran (cost), bukan bagian dari investasi yang dapat memicu produktivitas.
Ketiga, ambiguitas pemerintah, sebagai wasit antara pengusaha dan buruh, cenderung membiarkan kedua unsur bertarung begitu saja dan terkesan mengabaikan dampak-dampaknya.
Seperti diberitakan, mulanya UMK Bekasi ditetapkan Rp. 1.356.242 untuk kelompok I, Rp. 1.514.117 untuk kelompok II, dan Rp. 1.626.287 untuk kelompok III. Melalui SK Gubernur Jabar Nomor 561/Kep.1540-Bansos/2011, UMK Bekasi dikoreksi menjadi sebesar Rp. 1.491.866, upah kelompok II Rp. 1.715.645, dan upah kelompok III Rp. 1.849.913.
Putusan baru inilah yang digugat Apindo melalui PTUN Bandung. Ribuan buruh Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, lantas melakukan aksi unjuk rasa mendesak Apindo mencabut gugatannya.
Merespons aksi unjuk rasa yang melumpuhkan kawasan industri Cikarang, Apindo membuka negosiasi baru dengan menawarkan kenaikan upah minimum kabupaten/kota (UMK) Bekasi sebesar 10-20 persen. Asosiasi menilai kenaikan ini sudah melampaui perhitungan kebutuhan hidup layak. (Kop).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar